BUKIT KABA adalah SEBUAH BUKIT YANG INDAH PEMANDANGANNYA , DI SINI ADA TANDA-TANDA BUKTI PENINGGALAN JEJAK BANGSA ATLANTIS yang katanya hilang, penasaran silahkan temukan bukti-buktinya di sini atau langsung datang saja di kaki Bukit Kaba Curup Bengkulu

Wednesday, October 12, 2011

AYAH

Ayah
Renungan buat kita mengenai hal hal yang ayah lakukan kepada kita,,

Mungkin kita sering salah kaprah terhadap ketegasan seorang ayah,,,

Biasanya, bagi seorang anak yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan/di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya…..

Akan sering merasa kangen sekali dengan Mamanya.
Lalu bagaimana dengan Ayah?

Mungkin karena Mama lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari,
tapi tahukah kamu,

jika ternyata Ayah-lah yang mengingatkan Mama untuk menelponmu?

Mungkin dulu sewaktu kamu kecil,

Mama-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng,
tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Ayah bekerja dan dengan wajah lelah  Ayah selalu menanyakan pada Mama tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?
Pada saat dirimu masih seorang anak kecil……

Ayah  biasanya mengajari si buah hatinya naik sepeda.
Dan setelah Ayah  mengganggapmu bisa, Ayah  akan melepaskan roda bantu di sepedamu…
Kemudian Mama bilang : “Jangan dulu Ayah , jangan dilepas dulu roda bantunya” ,

Mama takut buah nya terjatuh lalu terluka….

Tapi sadarkah kamu?

Bahwa Ayah  dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA.

Pada saat kamu menangis merengek meminta boneka atau mainan yang baru, Mama menatapmu iba.
Tetapi Ayah  akan mengatakan dengan tegas

: “Boleh, kita beli nanti, tapi tidak sekarang”



Tahukah kamu,

Ayah  melakukan itu karena Ayah tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi?

Saat kamu sakit pilek, Ayah  yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata :
“Sudah di bilang! kamu jangan minum air dingin!”.


Berbeda dengan Mama yang memperhatikan dan menasihatimu dengan lembut.

Ketahuilah, saat itu Ayah  benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu.

Ketika kamu sudah beranjak remaja….

Kamu mulai menuntut pada Ayah untuk dapat izin keluar malam, dan Ayah  bersikap tegas dan mengatakan: “Tidak boleh!”.

Tahukah kamu, bahwa Ayah  melakukan itu untuk menjagamu?

Karena bagi Ayah, kamu adalah sesuatu yang sangat - sangat luar biasa berharga..

Setelah itu kamu marah pada Ayah , dan masuk ke kamar sambil membanting pintu…

Dan yang datang mengetok pintu dan membujukmu agar tidak marah adalah Mama….

Tahukah kamu, bahwa saat itu Ayah  memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya,

Bahwa Ayah  sangat ingin mengikuti keinginanmu, Tapi lagi-lagi dia HARUS menjagamu?



Dan menasehati kamu klo didalam ISLAM tidak ada istilah PACARAN,,,
Salam sayang dari
Bapak dan Ibu-mu

Buat anak-anak-Ku
Shinta,Bagus dan Diva

Friday, October 7, 2011

Suci Badan Suci Badan Suci Qalbu


Suci Badan Suci Badan Suci Qalbu


Syeikh Ahmad ar-Rifa’y
Rasulullah saw, bersabda:
“Apabila diantara kalian berangkat menuju sholat Jum’at hendaknya lebih dahulu mandi.”
(H.r. Muslim) Hadits mulia ini mengandung rahasia munajat agung di baliknya. Karena seorang hamba ketika sholat bermunajat dan ber-musyahadah kepada Tuhannya apalagi di hari Jum’at, sungguh merupakan musyahadah paling agung.

Hakikat Mandi
Bermandi di sini merupakan metaphor untuk mandi qalbu dan badan dan seluruh anggota fisik yang merupakan anjuran syariat. Tentu saja di dalamnya ada rahasia dibalik rahasia bermandi. Setiap anjuran syariat senantiasa ada makna batin hakikat di dalamnya, sekaligus makna lahir, yang tak bisa dijangkau oleh akal. Menyerahkan sepenuhnya segala perkara kepada Allah Swt.
Anak-anak sekalian….Siapa yang memandang kebajikan aturan Allah Ta’ala, kelembutan dan keparipurnaan Kuasanya atas segalanya, berarti ia akan mengetahui bahwa Allah Ta’ala itu berdiri dengan sendiriNya atas apa yang dilakukanNya, menggerakkan hambaNya dengan TanganNya, membolak-balik hati mereka menurut kehendakNya, kebahagiaan
dan kebinasaan mereka, karena aturan kehendakNya sudah mendahului, tak ada yang menolak rencanaNya dan tidak ada yangmengadili hukumNya.
Apabila hal itu benar-benar maujud, sang hamba akan bergantung penuh kepada Allah Ta’ala, menyerahkan sepenuh jiwanya dan teguh dengan pijakan rasa tak berdaya, hingga yang tersisa hanyalah “tiada daya dan kekuatan, tiada ikhtiar dan dan keterkaitan, tak ada upaya mengatur maupun bertanya.
Karena sesungguhnya riangnya di dunia dan di akhirat hanyalah bergantung kepada Allah Ta’ala. Dan susahnya dunia terletak pada ketergantungannya pada selain Allah Ta’ala, dan melihat daya dan kekuatannya pada diri sendiri. Ingatlah firman Allah Ta’ala kepada NabiNya ‘alaihishsolaatu was-salam:
“Katakan, “”Aku tidak punya kemampuan terhadap diriku, baik yang berguna maupun yang membahayakan, kecuali apa yang dikehendaki Allah.”
Begitu pula bagaimana Allah Ta’ala memberlakukan pada Nabi Musa as ketika sedang bingung, “Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku dan saudaraku…” (Al-Maidah 25)
Dikatakan, mengenai firman Allah Ta’ala, kepada Nabi Musa as, ”Maka lepaskanlah kedua sandalmu…” maksudnya adalah lepaskanlah keluarga dan anakmu dan segala hal selain Allah Ta’ala, dari hatimu. Allah bertanya kepada Nabi Musa as, “Apa yang ada di tangan kananmu wahai Musa?” Maka Musa menjawab, “itulah tongkatku…” dimana Nabi Musa as, menyandarkan tongkat pada dirinya. Allah Ta’ala bertanya,
“Apa yang akan kau perbuat dengan tongkat itu?” Musa menjawab,
“Aku pakai sebagai pegangan.”
Maka Allah Swt, memerintahkan kepadanya, “Lemparkanlah wahai Musa!” Maka beliau melemparkan tongkat itu, tiba-tiba berubah menjadi ular yang melata.
Allah Ta’ala berfirman kepada Musa as, “Hai Musa! Apa yang kau katakan “ini sebagai pegangan” telah menjadi musuhmu, karena engkau telah berpegang pada selain DiriKu.
Lalu Nabi Musa as, kembali kepada Allah Ta’ala, dan ketika Allah mengetahui kembalinya Musa, “Allah Swt berfirman, ambillah tongkat itu dan jangan takut!”.
Sedangkan Allah Swt, berfirman kepada Nabi kita saw,  “Katakan Muhammad, tiada yang menimpa kami kecuali yang sudah ditulis Allah
pada kami.”

Bergantung pada Allah Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi: “Tak seorang hamba pun yang turun padanya cobaan, lalu bergantung pada makhluk bukan padaKu, melainkan Aku memtuskan anugerah-anugerah langit dari tangannya dan Aku bebankan masalahnya pada dirinya.”
Siapa yang mendapatkan cobaan lalu bergantung pasdaKu bukan pada makhlukKu, melainkan Aku berikan padaNya sebelum ia meminta kepadaKu, dan Aku mengijabahi sebelum ia mendoa kepadaKu.”
Sebuah riwayat sampai pada kami, bahwa Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Dawud as, “Demi kemuliaan dan kebesaranKu, dan demi keagunganKu dan ketinggianKu di atas segala makhlukKu, bahwa tak seorang pun hamba yang bergantung padaKu bukan pada  makhlukKu, dan aku tahu ketergantungan itu dari hatinya, maka ketika langit sampai ketujuh hingga para penghuninya, dan bumi sampai lapis tujuh dan seluruh penghuninya sedang merekadaya padanya, melain Aku memberi jalan keluar padanya.”
“Demi kemuliaan dan kebesaranKu, dan demi keagunganKu dan ketinggianKu di atas segala makhlukKu, bahwa tak seorang pun hamba yang bergantung pada makhlukKu bukan padaKu, dan aku tahu ketergantungan itu dari hatinya, kecuali Aku putus dirinya dari sebab-sebab yang menyelesaikannya, kemudian Aku tak peduli di lembah mana Aku binasakan Dia, dan Aku penuhi hatinya kesibukan, ambisi, angan-angan yang tak pernah sampai selama-salamanya.”
Dalam hadits dijelaskan, “Siapa yang bergantung kepada Allah dan memohon kepada Allah, maka manusia akan butuh kepadanya, dan dari lisannya terucapkan hikmah, serta ia dijadikan sebagai raja dunia akhirat. Sedangkan siapa yang bergantung kepada makhluk, bukan pada Allah Ta’ala, serta membebankan ketergantungan itu di hatinya,  maka Allah Swt, menyiksanya, dan ia diputus dari sebab-sebab instrument dunia akhirat!”.
Dalam riwayat dikatakan, “Kosongkanlah dirimu dari kesusahan dunia semaksimalmu. Dan menghadaplah kepada Allah Ta’ala dengan hatimu, dan bergantunglah kepadaNya dalam segala urusanmu. Karena seorang hamba ketika menghadap kepada Allah Ta’ala dengan qalbunya,
Allah menghadapkan hati para hambaNya kepadaNya. Dan siapa yang bergantung kepada Allah, maka Allah Swt mencyukupi seluruh biayanya.”
Yahya bin Mu’adz ra ditanya, “Kapankah seseorang itu disebut bergantung kepada Allah Swt?”
“Ketika seseorang itu putus hatinya dari ketergantungan dengan segalanya, apakah ia punya maupun tidak, serta ia pun ridlo kepada Allah Ta’ala sebagai waki (tempat berserahnya),” jawabnya.
Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Dawud as, “Tak ada satu pun hamba yang beribadah kepadaNya, dan tak seorang pun yang taqarrub,  yang lebih utama bagiKu ketimbang bergantung dan pasrah padaKu.”
Amir bin Qais ra berkata kepada salah satu ‘arifin,  “Doakan kepada Allah untukku.”

Sang arif berkata, “Anda benar-benar minta tolong kepada orang yang lebih lemah dibanding anda sendiri? Taatlah pada Allagh Ta’ala, bergant7unglah padaNya, maka Allah Ta’ala akan memberikan yang lebih besar ketimbang yang diminta oleh para pemohon.”
Dalam wahyu yang diturunkan kepada Nabi Musa as, disebutkan, “Bila engkau ingin menjadi pemimpin dunia, dan menjadi pangeran dalam pandangan yang luhur, maka pasrah totallah dirimu pada perintahKu dan ridlo atas hukumKu.”

Al-Fudhail bin Iyadh ra, mengatakan, “Aku sungguh malu untuk mengatakan kepada Allah, bahwa aku ini bergantung kepada Allah. Karena orang yang bergantung kepada Allah Ta’ala, ia tidak pernah takut kepada selainNya, tidak pernah berharap selain Dia, dan hatinya putus dari gantungan dunia akhirat”.
Ditafsirkan mengenai arti firman Allah Ta’ala, “Inna Lillah” artinya adalah kami sebagai hamba Allah dan perangkatNya, berada dalam bolak balik kehendakNya dan ketentuanNya, setrta gerak gerik hamba ada di TanganNya.
“Inna Ilaihi Rooji’un” kami ridlo kepadaNya, pasrah padaNya, bergantung denganNya dan pasrah total hanya kepadaNya.
Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala, berfirman kepada Nabi Musa as, “Pergilah ke Fir’aun sesungguhnya ia telah ingkar!”
Lantas Nabi Musa as, menyela, “Oh Tuhanku, bagaimana dengan kambing-kambingku dan anak isteriku?”
Allah Ta’ala berfirman, “Kalau engkau menemukanKu, maka manalagi yang akan engkau perbuat selain kepadaKu? Hai Musa! Berangkatlah, dan bergantunglah padaKu dan pasrah totallah hanya padaKu, serahkan urusanmu kepadaKu. Karena Aku jadikan harimau sebagai penggembala atas kambing-kambingmu dan para malaikat menjaga keluargamu.
Hai Musa ! Siapakah yang menyelamatkan dirimu dari Nil itu, hingga ditemukan oleh ibumu di sana? Siapakah yang mengembalikan dirimu pada bundamu setelah itu? Siapakah yang menyelamatkanmu dari musuhmu Fir’aun ketika engkau membunuh seseorang? Siapakah yang menyelamatkanmu dari Fir’aun ketika engkau melintasi sahara?”
Nabi Musa as, menjawab semuanya, “Engkau…Engkau….”
Ketahuilah siapa yang bergantung kepada selain Allah Swt,  atau apa pun selain Allah maka orang itu terhinakan, keluar dari garis kehambaan. Karena batas kehambaan itu adalah: Menyerahkan upaya pilihannya kepada Sang Maha Perkasa.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Tuhanmulah Yang Mencipta Yang DikehendakiNya dan Memilihkan,
tak ada bagi mereka pilihan.”
“Apa yang dibuka oleh Allah kepada manusia dari rahmat, maka tak satu pun bias menghadangnya.”
“Dan jika Allah menghalanginya atas suatu bahaya, tak seorang pun bisa mencegahnya kecuali Dia.”
“Katakan, tak satu pun  musibah yang menimpa kami melainkan Allah sudah menentukan bagi kami.”
“Dan siapa yang pasrah total kepada Allah, maka Dia mencukupinya.”
Ketahuilah bahwa ubudiyah itu terbangun atas sepuluh dasar:
Bergantung kepada Allah Ta’ala dalam segala hal,
Ridlo kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Kembali kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Butuh kepada Allah Ta’ala di dalam segalanya.
Mengembalikan hati kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Sabar bersama Allah dalam segalanya.
Memutuskan diri hanya kepada Allah dalam segala hal.
Istiqomah bersama Allah dalam segala hal.
Menyerahkan total kepada Allah Ta’ala dalam segala hal.
Pasrah segalanya dalam semua hal.
·         Disalin oleh Edy Purnomo
·         Sumber : Sufinews.

Monday, June 27, 2011

Mengingat Mati & Hakikat Mati

 Al-Ghazali


Kesembilan maqam ruhani yang telah kami sebutkan terdahulu bukanlah satu kategori yang berdiri sendiri-sendiri. Justru sebagian diantaranya menunjukkan esensi maqam lainnya, seperti prinsip atau maqam cinta (mahabbah) dan prinsip atau maqam ridha (rela terhadap ketetapan Allah); keduanya merupakan maqam tertinggi. Di antara maqam tersebut saling berkait dengan maqam lainnya, seperti maqam tobat dan zuhud; maqam takut (khauf) dan sabar. Sebab, tobat itu merupakan tindakan kembali dari jalan yang menjauhkan (diri dari Allah) menuju jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Sedangkan zuhud merupakan tindakan meninggalkan ragam kesibukan yang menghalangi pendekatan diri kepada-Nya; rasa takut (al-khauf) merupakan cambuk yang menggiring perilaku untuk meninggalkan kesibukan-kesibukan tersebut. Sabar adalah perjuangan ruhani melawan ragam nafsu yang menghalangi jalan pendekatan diri kepada-Nya.
Jadi, masing-masing maqam tersebut tidak berdiri sendiri, akan tetapi saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, melalui ma’rifat dan mahabbah, yang berdiri sendiri. Hanya saja, ma’rifat dan mahabbah tidak dapat berwujud sempurna, kecuali dengan cara menafikan rasa cinta kepada selain Allah dalam kalbu. Untuk kepentingan tersebut memerlukan al-khauf, sabar dan zuhud. Di antara hal yang besar manfaat dan fungsinya dalam hal ini adalah mengingat akan mati. Inilah pembahasan yang kami maksudkan.
Syariat memberikan imbalan pahala yang besar terhadap orang yang suka mengingat mati. Sebab dengan mengingat mati, akan menyulitkan dirinya dalam mencintai dunia, selain memutus hubungan hati dengan dunia itu sendiri.
Allah Swt. berfirman:
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kamu Iari dari padanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu.” (Q.s. Al-Jumu’ah: 8).

Rasulullah Saw. bersabda:
“Perbanyaklah mengingat penghancur kelezatan-kelezatan!” (Al-Hadis).

Beliau juga bersabda, “Barangsiapa tidak menyukai pertemuan dengan Allah, Allah pun tidak suka bertemu dengannya.”

Aisyah r.a. bertanya kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, adakah seseorang yang dikumpulkan bersama para syuhada’ (orang yang mati syahid)?” tanya Aisyah r.a.
“Benar,” jawab Rasulullah, “yaitu, orang yang mengingat mati duapuluh kali dalam sehari semalam.”

Rasulullah Saw. melintasi sebuah majelis yang penuh dengan gelak tawa, lalu beliau bersabda, “Campurilah majelis kalian dengan pengaruh kelezatan-kelezatan!”
“Apakah itu?” di antara mereka mengajukan pertanyaan.
“Maut,“ jawab beliau singkat.

Rasulullah Saw. bersabda, “Andaikata binatang-binatang itu tahu akan kematian sebagaimana manusia (mengetahuinya), tentu kalian tidak akan makan daging yang gemuk darinya.”
Sabda beliau pula, “Cukup maut sebagai pemberi peringatan.”
Sabdanya:
“Aku tinggalkan dua pemberi peringatan di tengah-tengah kalian, yang diam dan dapat berbicara. Yang diam adalah maut, sedangkan yang berbicara adalah Al-Qur’an.” (Al-Hadis).

Ada seorang laki-laki yang disebut-sebut di sisi Rasulullah Saw, orang itu selalu dipuji dengan baik. Lalu Rasulullah Saw bertanya, “Bagaimana teman kalian itu men yebut mati?”
“Kami hampir tidak pernah mendengar dia mengingat mati,” jawab mereka.
“(Jika demikian), maka sesungguhnya teman kalian itu bukanlah di situ,” jawab beliau.

Seorang sahabat dan kaum Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling cerdas dan mulia?” tanya seorang laki-laki dan (kaurn) Anshar.
“Yang paling banyak mengingat mati di antara mereka, dan yang paling banyak (tekun) mempersiapkan diri menghadapi kematian. Mereka itulah orang-orang yang paling cerdas, mereka pergi dengan kelegaan dunia dan kemuliaan akhirat,” sabda beliau.

Manfaat Ingat Kematian
Mati merupakan persoalan besar, sekaligus masalah yang luar biasa. Tiada sesuatu pun yang luar biasa melebihi kematian ini. Mengingat mati besar manfaatnya. Kematian dapat mempersempit kehidupan dunia dan menjadikan hati benci pada dunia.
Membenci duniawi merupakan pangkal segala kebaikan, sebagaimana cinta dunia merupakan pangkal dari segala kesalahan.
Bagi orang ‘arif (ahli ma’rifat) mengingat Allah itu memiliki dua fungsi dan kegunaan: Pertama, benci pada dunia, dan kedua, rindu akhirat.
Orang yang mencintai —tidak mustahil— pasti merasakan rindu. Rindu pada hal-hal yang bisa diraba, pengertiannya adalah, penyempurnaan fantasi untuk mencapai pada penyaksian langsung.
Rasa rindu kepada-Nya pasti bisa dicapai melalui fantasi, tanpa penglihatan dengan mata.
Hal-ihwal akhirat dan kenikmatannya berikut keindahan hadirat ketuhanan, bagi orang ‘arif diketahui dalam bentuk seakan-akan dia melihat dari balik tirai tipis pada waktu mendung dan cahaya remang. Dia merindukan kesempunaan itu melalui tajalli dan musyahadah. Dia tahu bahwa hal tersebut tidak akan terjadi, kecuali dengan maut; karenanya dia tidak benci mati, sebab dia tidak membenci pertemuan dengan Allah Swt, bahkan dia menyukai pertemuan dengan-Nya.
Orientasi duniawi muncul disebabkan oleh kurangnya mengingat mati. Cara untuk bertafakur pada kematian ialah, hendaklah seseorang mengosongkan pikiran dan ingatannya selain kematian. Lalu duduk berkhalwat dan mengendalikan ingatan tentang mati dengan lubuk kalbunya. Mula-mula ia mengingat tentang sahabat-sahabatnya yang telah lalu (meninggal dunia), mengingat mereka satu persatu, lalu mengingat sifat rakus, ambisi, angan-angan dan kecintaan mereka terhadap kedudukan dan harta. Kemudian mengingat pergulatan mereka menjelang direnggut maut dan penyesalannya menyia-nyiakan waktu dan umur.
Selanjutnya bertafakur tentang tubuh-tubuh mereka: Bagaimana tubuh-tubuh tersebut terobek-robek dalam tanah dan menjadi bangkai yang dimakan ulat. Lalu, mengembalikan kepada dirinya, bahwa dirinya seperti salah seorang di antara mereka: Angan-angannya seperti angan-angan mereka dan pergulatannya (nanti menjelang kematian) seperti pergulatan mereka. Kemudian perhatiannya dialihkan pada anggota-anggota tubuhnya, bagaimana nanti ia menjadi remuk; selanjutnya dialihkan pada biji matanya, ketika nanti ia dimakan ulat; pada lidahnya ketika lidah itu menjadi usang kemudian menjadi bangkai di dalam mulutnya.
Apabila Anda melakukan hal itu, maka bagi Anda dunia atau harta-benda itu kecil dan hina, dan Anda menjadi bahagia. Sebab, orang yang bahagia itu adalah orang yang dapat mengambil pelajaran dari orang lain. Karena itulah Rasulullah Saw bersabda:
“Hai manusia, seakan-akan maut itu telah ditetapkan kepada selain kita, seakan-akan kebenaran itu telah diwajibkan kepada selain kita, dan seakan-akan orang-orang mati yang kita antarkan baru saja pergi, mereka kembali kepada kita, kita tempatkan mereka di makam-makamnya dan kita makan harta-harta peninggalan (warisan)nya, seakan-akan kita (hidup) kekal setelah mereka. Kita melupakan setiap peringatan dan aman (terbebas) dari bencana.” (Al-Ha dis).
Lamunan Panjang
Lamunan panjang merupakan akar dari kelalaian mengingat mati. Lamunan itu merupakan kebodohan yang sebenarnya. Karena itulah Rasulullah Saw. bersabda kepada Abdullah bin Umar r.a.:
“Jika masuk waktu pagi, jangan kamu bicarai dirimu tentang sore har. Bila masuk waktu sore, jangan kamu bicarai dirimu tentang pagi. Ambil (kesempatan) dari hidupmu untuk matimu, dari sehatmu untuk sakitmu, sebab kamu hai Abdullah, tidak tahu apa namamu esok hari.” (Al-Hadis).

Rasulullah Saw juga bersabda, “Ada dua kebiasaan (perangai) yang paling aku takutkan pada ummatku, yaitu: menuruti hawa nafsu dan lamunan panjang.”

Usamah membeli budak wanita sampai dua bulan dengan harga seratus, lalu Rasulullah Saw. berkata:
“Apakah kalian tidak merasa heran kepada Usamah, orang yang membeli (budak wanita) sampai dua bulan? Sungguh Usamah itu panjang lamunannya. Demi jiwaku yang ada pada kekuasaan-Nya, aku tidak akan mengejapkan kedua mataku, kecuali aku telah mengira bahwa tempat tumbuhnya bulu pelupuk mata tidak dapat mengatup hingga Allah mencabut ruhku. Aku tidak akan mengangkat kedua mataku, sedangkan aku mengira bahwa dirikulah sebenarnya yang menaruhnya hingga aku dimatikan, dan aku tidak akan menelan sesuap (makanan), kecuali aku mengira bahwa aku tidak akan memasukkannya ke tenggorokan hingga aku tersekat dengannya karena menjelang kematian.”

Kemudian beliau bersabda, “Hai anak Adam, jika kalian berakal, maka hendaklah kalian perhitungkan diri kalian dengan kematian. Demi jiwaku yang ada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya apa yang dijanjikan kepada kalian pasti tiba, dan kalian bukan tidak mampu.”

Rasulullah Saw. bersabda, “Generasi pertama dan ummat ini selamat dengan keyakinan dan kezuhudan, dan akhir ummat ini menjadi binasa karena sifat kikir dan panjang angan-angan.”
Dan Rasulullah Saw. bersabda, “Apakah kalian semua ingin masuk surga?”
“Benar,” jawab mereka.
“Pendekkanlah angan-angan kalian, jadikan ajal kalian ada di hadapan mata kalian, dan malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya,” sabda beliau.

Kematian Dimata Orang Arif
Orang ‘arif yang paripurna tidak putus-putus menyebut dan mengingat Allah, tidak lagi mengingat mati, bahkan dia itu fana’ dalam tauhid. Dia tidak pernah menoleh ke masa lalu dan masa depan, tidak pula keadaan dari sisi bahwa itu sekadar keadaan. Dia adalah anak waktunya, patuh kepada sang waktu. Maksudnya, dia seperti orang yang menyatu dengan yang diingat atau disebutkannya. Kami tidak menyatakan bahwa dia menyatu dengan Dzat Allah Swt. Hal ini jangan Anda rasionalisasikan, nanti Anda tergelincir dan salah, kemudian buruk sangka.
Orang ‘arif tidak lagi merasakan rasa takut/cemas (khauf) dan rasa berharap (raja’), karena khauf dan raja’ itu adalah cambuk yang menggiring seorang hamba kepada suatu kondisi yang penuh dengan rasa. Lalu bagaimana ia akan mengingat mati, padahal tujuan mengingat mati itu adalah agar hubungan ikatan kalbunya dengan apa yang bisa ditinggalkan setelah kematian itu terputus. Sedangkan seorang ‘arif telah mengalami mati, dalam kaitannya dengan hak dunia dan apa saja yang akan ia tinggalkan dengan terjadinya kematian itu. Dia juga bebas dari orientasi kepada akhirat, apalagi pada dunia. Selain Allah Swt, baginya rendah dan hina. Maut baginya merupakan penyingkapan tirai agar tambah jelas dan yakin. Inilah makna ucapan Sayyidina Ali r.a, “Jika tirai itu telah dibuka, maka belum bisa menambah keyakinan bagiku.”
Orang yang melihat orang lain dari balik tirai, keyakinannya belum bertambah dengan tersingkapnya tirai, hanya saja, bertambah jelas.
Maka mengingat mati itu dibutuhkan oleh orang yang kalbunya masih menoleh pada dunia, agar dia tahu bahwa dia akan berpisah dan meninggalkannya, sehingga dia tidak selalu cinta dunia. Karena itulah, Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Ruhul Quds (Jibril) membisik dalam hatiku, ‘Cintailah apa yang kamu cintai, sesungguhnya kamu akan berpisah dan meninggalkannya. Puaskanlah hidupmu, sebab sesungguhnya kamu itu adalah mayit. Dan beramallah sesukamu, karena sesungguhnya kamu mendapat imbalan dengannya’.”

Hakikat Dan Esensi Mati
Barangkali Anda ingin tahu hal-ihwal dan hakikat mati. Anda tidak akan pernah mengetahui hal itu sebelum Anda tahu tentang hakikat hidup. Anda tidak akan pernah mengetahui hakikat hidup sebelum Anda tahu tentang ruh; itu adalah diri Anda, esensi dan jatidiri Anda. Ruh adalah hal yang tersembunyi dalam diri Anda. Anda jangan terlalu giat untuk mengenal Tuhan sebelum Anda kenal diri Anda. Maksud kami dengan diri Anda adalah ruh Anda, sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah Swt. dalam firman-Nya yang berbunyi, “Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku’.” (Q.s. Al-Isra’: 85).
Dan dalam firman-Nya yang berbunyi, “Dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku.” (Q.s. Al-Hijr: 29).

Dimaksud ayat tersebut bukan ruh jasad yang halus, yang merupakan pembawa energi indera dan gerak, yang bersumber dari hati dan menyebar ke seluruh tubuh; menyebar ke seluruh rongga urat-urat yang berdenyut. Dari Situ mengalir cahaya indera penglihatan pada mata, cahaya indera pendengaran pada telinga, dan pada seluruh kekuatan dan indera-indera lainnya; sebagaimana cahaya pelita mengalir ke seluruh sisi rumah. Ruh Ini sama dengan ruh binatang, ia bisa menjadi binasa dengan maut, sebab itu adalah uap yang kematangannya terus stabil ketika minyaknya masih stabil. Bila minyak itu telah labil, ia jadi rusak sebagaimana cahaya yang mengalir dari pelita itu punah ketika pelita itu padam, karena minyaknya telah habis, atau karena dipadamkan.
Ruh semacam ini menjadi binasa (rusak) dengan terputusnya makanan (bagi manusia atau binatang), karena makanan bagi ruh tersebut minyak bagi pelita. Pembunuhan terhadapnya seperti tiupan pada pelita. Ruh semacam ini, kesehatan dan stabilitasnya menjadi garapan ilmu kedokteran. Ruh ini tidak memikul ma’rifat dan amanat.
Disalin Oleh : Edy Purnomo,M.Si

Matahari di Bukit Kaba

Di Timur matahari mulai ber... cahya.......


Adalah Harapan dari anak manusia, akan terbitnya suatu peradapan manusia yang ideal, aman, damai, sejahtera di bawah Lindungan Allah swt.

Peradapan saat ini sebagian besar manusia menganggap sudah maju dan modern. Ya… memang di banding kan dengan beberapa waktu yang lalu teknologi saat ini lebih berkembang maju. Teknologi dan saint di buat untuk memudahkan kehidupan manusia dan mensejahterakan manusia. Namun sebagian manusia memuja hasil teknologi itu. Teknologi di jadikan tujuan hidup. Bukan sebagai alat untuk memudahkan hidup.

Manusia saat ini saling rebutan, kedudukan, materi, makanan, roti dan roti. Saat ini sepertinya Manusia satu serigala manusia lainnya. Saat ini manusia mencekam dan kebingungan. Tak tahu arah tujuan kehidupan yang jelas. Semua seperti sedang trance memperebutkan roti dan baju . Akankah berakhir semua keadaan ini ……..?

Saudara ......yakinlah, bahwa Allah swt itu tidak tidur, dan tidak mengantuk. Allah selalu mengawasi mahluk-makluk-Nya. Yang benar akan tetap benar dan yang melanggar kebenaran akan dapat azab-Nya.

Matahari di bukit kaba ber-doa dan yakin suatu saat nanti akan terbit peradapan yang benar-benar ideal, yaitu peradapan yang di kehendaki oleh Allah Swt.

Dan semua itu yang mampu merubahnya hanya kehendak-Nya. Bagi Allah Swt. apabila ingin merubah kondisi dunia ini mau jadi apa hanya dengan menggeser sedikit hati mahluknya maka akan jadi sempurnalah kondisi yang ada , namun Kondisi yang ada saat ini itu adalah buah pemikiran dan perilaku manusia sendiri.

Turunkan super egomu.

Sebagian kita Menganggap diri paling eksklusif, diri Paling benar, diri paling Istimewa, dan diri paling....., namun kendalikan jangan menyakiti manusia dan mahluk yang lain.

Mari kita bekerja dan beramal kebaikan,.

Mari kita saling menghargai, menghormati saling membantu sesama manusia dan mahluk yang lain. Dan semua itu di tujukan hanya berharap kepada Ridho dan Petunjuk Allah Swt. Ya Ilahi anta maksudi waridhakha mathulubi , la haula walakuwata illa billa Amin.......Ya robil Alamin



Materi kuliah Sosiologi, Implementasi Sosbud thd Askep

Materi Kuliah Sosiologi Manusia dan masyarakat

bagan psiko sosiogram manusia

Perancangan Pembangunan Desa